Tugas KELOMPOK
PSIKOLOGI OLAHRAGA
( Disiplin dan
Penguasaan Diri)
Oleh:
Haeruddin
(NIM:13B04017)
Rifaid Saiman
(NIM:13B04012)
PROGRAM
PASCASARJANA
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN JASMANI DAN OLAHRAGA
UNIVERSITAS
NEGERI MAKASSAR
2013
DISIPLIN DAN PENGUASAAN DIRI
Kehidupan social adalah kehidupan yang penuh dengan
nilai-nilai. Disiplin seseorang terlihat dari kesediaan untuk mereaksi dan
bertindak terhadap nilai-nilai yang berlaku, yaitu nilai-nilai yang tertuang
atau yang terwujud dalam bentuk ketentuan, tata-tertib, aturan, tatanan hidup
atau kaida yang mendalam bagi penampilan-penampilan para atlet, dalam hal ini atlet
sebenarnnya meliputi berbagai aspek yaitu dari berbagai bentuk, perkembangan
disiplin bagi atlet, menanamkan disiplin, bersikap obyektif, dan juga mengenali
diri sendiri kita sebagai atlet bisa memahami lebih mendalam lagi kaidah-kaidah
tertentu.
Sebagai mahasiswa olahraga, kita harus mengetahui
betapa pentingnya pengendalian diri bagi diri kita. Sebab pengendalian diri
atau disiplin yang tertanam dihati para atlet bisa suatu dorongan semangatnya
kita melakukan latihan disaat stres yang kita alami, kita dapat menenangkan
hati dan pikiran agar berkonsentrasi melakukan latihan atau pertandingan. Kesediaan mereaksi dan bertindak terhadap obyek
tertentu adalah sikap kejiwaan. Atau “attitude”, yang sementara orang
menyebut sebagai sikap mental. Menurut Fren N. Kerlinger (1975) sikap
kejiwaan selalu dihadapkan pada pilihan menerima atau menolak, bertindak
positif atau negative, dalam hubungannya dengan obyek tertentu.
Menurut Tutko dan Richards (1975) menegaskan
bahwa disiplin :
untuk mengutamakan
dan mengatur kondisi fisik
untuk pengembangan
penguasaan emosi
untuk menciptakan
citra sebagai olahragawan yang sebenarnnya.
1.1 Perkembangan
Disiplin
Perkembangan disiplin yang mengandung kepatuhan
atau ketaatan pada nilai-nilai, terutama sekali dimulai sejak masa kanak-kanak,
peranan pada orang tua dan linkungan pergaulan masa kecil sangat besar
pengaruhnnya pada perkembangan disiplin anak selanjutnnya.
Sesuai teori belajar maka pengaruh pendidikan akan
besar terhadap perkembangan sikap dan tingkah laku manusia. Tiga masalah utama
dari jenjang yang dianggap paling penting adalah:
tidak
adannya disiplin
penggunaan
obat terlarang dan
kurikulum yang kurang baik
Dalam olahraga atlet selalu menghadapi pilihan
antara melakukan ketentuan sesuai program latihan yang ditetapkan atau mangkir
dari latihan, antara patuh pada peraturan dan bertindak sportif dengan
melanggar peraturan asal dapat memenangkan pertandingan, dsb-nya.
Dalam banyak hal bertentangan batin antara
mengutamakan kepentingan pribadi atau lebih mengutamakan kepentingan umum,
merupakan tatangan terhadap kuat-lemahnya disiplin individu. Motivasi untuk
mendapat kepuasan individu apabila tidak diimbangi dengan motivasi social yang
positif dan kuat, dapat menjurus kearah tindakan yang tidak patuh pada
nilai-nilai atau tindakan yang melanggar disiplin.
1.2 Disiplin
Semu dan “ self-discipline “
Disiplin semu adalah disiplin yang tampak dipermukaan saja,
kepatuhan yang dilandasi disiplin semu tidak dapat bertahan lama, karena
disiplin semu terjadi hanya pada saat pengawasan, disertai rasa takut pada
sangsi dan ancaman pelatih tanpa ada kesadaran.
Disiplin sering diartikan dalam kaitanya dengan
ancaman dan hukuman, dari sisi lain disiplin juga erat kaitannya dengan
pengawasan atau control dan proses belajar. Prinsip
mengontrol diri sendiri merupakan hal yang terpenting dalam disiplin, atlet
yang menunjukan kebiasaan selalu menepati ketentuan, peraturan, dan
nilai-nilai, berarti dapat mengontrol diri-sendiri untuk tidak melanggar
ketentuan dan peraturan ataupun nilai-nilai yang berlaku.
Disiplin ada hubungannya dengan sikap penuh rasa
tanggung jawab, karena atlet yang berdisiplin cenderung untuk menepati,
mendukung dan mempertahankan nilai-nilai yang dianutnnya. Sikap untuk mendukung
dan mempertahankan nilai-nilai yang dianutnnya, atlet akan berusaha untuk tidak
mengingkari dan sedapat-dapatnnya mematuhi. Sehubungan
dengan itu maka atlet yang disiplin akan setia untuk menepati kebiasaan hidup
sehat, mematuhi petunjuk-petunjuk pelatihnya, setia untuk melakukan
program-program latihan, sehingga memberi kemungkinan lebih besar untuk
mencapai prestasi yang setinggi-tingginnya.
Atlet yang memiliki disiplin diri sendiri sudah
memiliki kesadaran untuk berlatih sendiri, meningkatkan keterampilan, dan
menjaga kondisi fisik dan kesegaran jasmaninnya, dan dapat menguasai diri untuk
tidak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan peraturan atau yang dapat
merugikan diri sendiri dan lebih lanjut selalu akan berusaha untuk hidup dan
berusaha berbuat sebaik-baiknnya sesuai dengan citrannya sebagai atlet yang
ideal.
Disiplin yang disertai pemahaman dan kesadaran erat
hubungannya dengan sikap penuh tanggung jawab dan individu yang bersangkutan
cenderung berusaha menepati, mendukung, dan mempertahankan nilai-nilai yang
dianutnnya.rasa tanggung jawab yang dipatuhi, tidak mengingkari, dan harapan
akan kelangsungan nilai-nilai akang berkembang menjadi sikap hidupnnya
sehari-hari.
1.3 Peranan pelatih
Hubungan guru dengan murid merupakan hal yang
sangat penting dan sumber terbentuknnya disiplin yang baik dan yang buruk.
Disiplin yang kaku, dalam bentuk apapun akan dapat menghasilkan ketidak puasan,
bahkan dapat menimbulkan pemberontakan terhadap pemegang kekuasaan.
Menurut Tutko dan Richards (1975) yang cukup
menarik mengenai sikap pelatih, bagaimana seorang pelatih menghadapi atlet yang
ragu-ragu menjadi anggota team. Sebagai pelatih harus memiliki sikap tegas
untuk dapat membawakan pengaruhnnya sehingga atlet bersikap dewasa, menerima
peraturan dengan penuh kesadaran.pelatih harus mempunyai konsepsi yang mantap,
menguasai prinsip-prinsip pokok untuk menumbuhkan disiplin, harus dapat
mengarahkan kearah tindakan-tindakan yang positif-kontruktif memberi bimbingan
apabila diperlukan, dan mengawasi kemungkinan terjadinnya pelanggaran terhadap
peraturan dan ketentuan-ketentuan yang berlaku.
1.4 Menanamkan disiplin
Penanaman disiplin harus dilakukan terus-menerus,
karena disiplin seperti halnnya sikap menusia lainya, selalu dapat berubah dan
dapat dipengaruhi. Dalam upaya pembinaan atlet kerja sama antara pelatih dengan
orang tua atlet sangat perlu.
Cara-cara otoriter dengan paksaan atau hukuman, James
Dobson (1986) mengukakan bahwa aktivitas penuh disiplin harus dilakukan
dalam suatu kerangka kerja penuh cinta-kasih dengan memahami perasaan subyek,
rasa hormat dan tanggung jawab subyek merupakan hasil cinta-kasih dan disiplin.
2.1 PENGUASAAN DIRI
Penanaman disiplin harus dilandasi pengertian pokok
mengenai disiplin, yang intinnya menanamkan kepatuhan yang didasarkan atas
pemahaman dan kesadaran, serta tanggung jawab.
Menurut Robert S Ellis (1956) membedakan
perkembangan disiplin yang ditanamkan dengan pengawasan yang ketat, paksaan dan
hukuman yang sewajarnya, Menanamkan disiplin tidak harus dengan tindakan
otoriter ataupun kekerasan.
Disiplin menurut Robert S Ellis membedakan 2
pengertian, yaitu disiplin “under-control” : disiplin dengan pengawasan
dari luar, yang sedikit menjadi disiplin, sedangkan disiplin “self control”
yaitu disiplin yang didasarkan atas penguasaan diri untuk tidak melanggar
ketentuan dan peraturan, sesudah memiliki pemahaman dan kesadaran untuk selalu
patuh pada norma-norma. Menanamkan disiplin dengan menumbuhkan rasa tanggung
jawab untuk mematuhi dan mendukung nilai-nilai, ketentuan dan peraturan yang
berlaku, serta menumbuhkan rasa harga diri sebagai atlet yang disiplin, yang
mematuhi ketentuan dan nilai-nilai, maka perlu sekali menanamkan disiplin yang
dikaitkan dengan penguasaan diri.
Pelatih yang berusaha menanamkan disiplin dengan
paksaan dan hukuman, sekaligus agar berwibawa dimata atlet, mungkin dapat
menciptakan suasana penuh disiplin, namun disiplin yang tampak tersebut
terbentuk atas dasar rasa cemas dan takut hukuman semata-mata.
Sebagaimana ditegaskan Dobson (1986), rasa
hormat dan tanggung jawab merupakan hasil dari cinta-kasih dan disiplin,
sedangkan rasa tidak aman sebagian besar disebabkan oleh tidak kekerasan.
Pengawasan bukan dimaksudkan mencari kesalahan, tetapi lebih ditekankan pada
pemanfaatan untuk menujukan hal-hal yang baik dan yang kurang baik, kemudian
memberi kesepakatan pada atlet untuk lebih memahami, menyadari, dan lebih
lanjut menimbulkan dorongan, motivasi untuk berbuat sesuatu yang membanggakan.
Inti pokok disiplin pada hakekatnya adalah rasa
tanggung jawab dan penguasaan diri, apabila hal tersebut telah dimiliki oleh
atlet, maka ia akan mampu mengatur dirinya sendiri dan bertindak kearah pada tujuan
yang baik dan jauh dari pelanggaran nilai-nilai, norma-norma dan kaidah-kaidah
yang berlaku.
Menanamkan disiplin dan membina sikap atlet
merupakan bagian dari upaya mendidik atlet agar memiliki kepribadian yang baik
dan sikap-sikap yang positif-kontrukstif. Peraturan-peraturan dan tata tertib merupakan hal
yang sangat perlu untuk menegakan disiplin, agar peraturan, serta tatatertib
betul-betul menjadi milik bersama. proses penyusunan peraturan dan ketentuan
tersebut perlu diperhatikan keterlibatan para Pembina, pelatih dan atlet.
Tutko dan Richards (1975) mengemukakan beberapa hal yang perlu
diperhatikan, yaitu:
citra film
yang baik
keefektifan
dalam penampilan
sikap-sikap
pribadi terhadap tim
perasaan
individual dari para pemain.
Masalah-masalah
rumit yang dialami manusia, seringkali dan bahkan hampir semua, sebenarnya
berasal dari dalam diri. Mereka tanpa sadar menciptakan mata rantai masalah
yang berakar dari problem konsep diri. Dengan kemampuan berpikir dan menilai,
manusia malah suka menilai yang macam-macam terhadap diri sendiri maupun
sesuatu atau orang lain – dan bahkan meyakini persepsinya yang belum tentu
obyektif. Dari situlah muncul problem seperti inferioritas, kurang percaya
diri, dan hobi mengkritik diri sendiri.
Artikel
berikut akan mengulas tentang konsep diri, apa dan bagaimana konsep diri
berpengaruh terhadap munculnya problem yang dialami manusia sehari-hari.Konsep
diri terbentuk melalui proses belajar sejak masa pertumbuhan seorang manusia
dari kecil hingga dewasa. Lingkungan, pengalaman dan pola asuh orang tua turut
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap konsep diri yang terbentuk.
Sikap
atau respon orang tua dan lingkungan akan menjadi bahan informasi bagi anak
untuk menilai siapa dirinya. Oleh sebab itu, seringkali anak-anak yang tumbuh
dan dibesarkan dalam pola asuh yang keliru dan negatif, atau pun lingkungan
yang kurang mendukung, cenderung mempunyai konsep diri yang negatif.
Hal ini disebabkan sikap orang tua yang
misalnya : suka memukul, mengabaikan, kurang memperhatikan, melecehkan,
menghina, bersikap tidak adil, tidak pernah memuji, suka marah-marah, dsb -
dianggap sebagai hukuman akibat kekurangan, kesalahan atau pun kebodohan
dirinya. Jadi anak menilai dirinya berdasarkan apa yang dia alami dan dapatkan
dari lingkungan. Jika lingkungan memberikan sikap yang baik dan positif, maka
anak akan merasa dirinya cukup berharga sehingga tumbuhlah konsep diri yang
positif.
Konsep diri ini mempunyai sifat yang dinamis,
artinya tidak luput dari perubahan. Ada aspek-aspek yang bisa bertahan dalam
jangka waktu tertentu, namun ada pula yang mudah sekali berubah sesuai dengan
situasi sesaat. Misalnya, seorang merasa dirinya pandai dan selalu berhasil
mendapatkan nilai baik, namun suatu ketika dia mendapat angka merah. Bisa saja
saat itu ia jadi merasa “bodoh”, namun karena dasar keyakinannya yang positif,
ia berusaha memperbaiki nilai.
2.2 Konsep Diri
Konsep diri dapat didefinisikan secara umum sebagai
keyakinan, pandangan atau penilaian seseorang terhadap dirinya. Seseorang
dikatakan mempunyai konsep diri negatif jika ia meyakini dan memandang bahwa
dirinya lemah, tidak berdaya, tidak dapat berbuat apa-apa, tidak kompeten,
gagal, malang, tidak menarik, tidak disukai dan kehilangan daya tarik terhadap
hidup.
Orang dengan konsep diri negatif akan cenderung
bersikap pesimistik terhadap kehidupan dan kesempatan yang dihadapinya.
Ia tidak melihat
tantangan sebagai kesempatan, namun lebih sebagai halangan. Orang dengan konsep
diri negatif, akan mudah menyerah sebelum berperang dan jika gagal, akan ada
dua pihak yang disalahkan, entah itu menyalahkan diri sendiri (secara negatif)
atau menyalahkan orang lain.Sebaliknya seseorang dengan konsep diri yang
positif akan terlihat lebih optimis, penuh percaya diri dan selalu bersikap
positif terhadap segala sesuatu, juga terhadap kegagalan yang dialaminya.
Kegagalan
bukan dipandang sebagai kematian, namun lebih menjadikannya sebagai penemuan
dan pelajaran berharga untuk melangkah ke depan. Orang dengan konsep diri yang positif
akan mampu menghargai dirinya dan melihat hal-hal yang positif yang dapat
dilakukan demi keberhasilan di masa yang akan datang.
Dalam usaha dalam menghindarkan tindakan-tindakan
diskriminatif yang berdasarkan prasangka sosial itu, kiranya perlu sekali untuk
sekedar mengetahui bagaimana terjadinya prasangka sosial dan apa sebab-sebabnya
prasangka sosial itu dipertahankan orang yang sudah berprasangka itu.
Didalam macam-macam penelitian dan
observasi-observasi tampak bahwa misalnya pada sekolah-sekolah internasional
tiada terdapat sedikitpun prasangkan social pada anak-anak sekolah yang berasal
dari bermacam-macam golongan “ras” atau kebudayaan itu. Mereka baru akan
memperolehnnya didalam perkembangannya apabila mereka bergaul erat dengan
orang-orang yang mempunyai prasangka sosial. Dan hal ini berlangsung dengan
sendirinya dan pada taraf tidak sadar melalui proses-proses imitasi, sugessti,
identifikasi dan simpati yang memegang peranan utama didalam interaksi sosial
itu.
Seringkali diri kita sendirilah yang menyebabkan
persoalan bertambah rumit dengan berpikir yang tidak-tidak terhadap suatu
keadaan atau terhadap diri kita sendiri. Namun, dengan sifatnya yang dinamis,
konsep diri dapat mengalami perubahan ke arah yang lebih positif. Salah satu
langkah yang perlu diambil untuk memiliki konsep diri yang positif yaitu
bersikap obyektif dalam mengenali diri sendiri Jangan abaikan pengalaman
positif ataupun keberhasilan sekecil apapun yang pernah dicapai. Lihatlah
talenta, bakat dan potensi diri dan carilah cara dan kesempatan untuk
mengembangkannya. Janganlah terlalu berharap bahwa Anda dapat membahagiakan
semua orang atau melakukan segala sesuatu sekaligus. You can’t be all things to all people, you can’t do all things at once,
you just do the best you could in every way....
2.3 Faktor
yang Mempengaruhi Konsep Diri
Bebetapa faktor yang dapat mempengaruhi proses
pembentukan konsep diri seseorang, seperti :
a. Pola asuh orang
tua
Pola asuh orang tua seperti sudah diuraikan di atas
turut menjadi faktor signifikan dalam mempengaruhi konsep diri yang terbentuk.
Sikap positif orang tua yang terbaca oleh anak, akan menumbuhkan konsep dan pemikiran
yang positif serta sikap menghargai diri sendiri. Sikap negatif orang tua akan
mengundang pertanyaan pada anak, dan menimbulkan asumsi bahwa dirinya tidak
cukup berharga untuk dikasihi, untuk disayangi dan dihargai; dan semua itu
akibat kekurangan yang ada padanya sehingga orang tua tidak sayang.
b. Kegagalan
Kegagalan yang terus menerus dialami seringkali
menimbulkan pertanyaan kepada diri sendiri dan berakhir dengan kesimpulan bahwa
semua penyebabnya terletak pada kelemahan diri. Kegagalan membuat orang merasa
dirinya tidak berguna.
c. Depresi
Terkadang, mengkritik diri sendiri memang
dibutuhkan untuk menyadarkan seseorang akan perbuatan yang telah dilakukan.
Kritik terhadap diri sendiri sering berfungsi menjadi regulator atau
rambu-rambu dalam bertindak dan berperilaku agar keberadaan kita diterima oleh
masyarakat dan dapat beradaptasi dengan baik.
d. Kritik internal
Orang yang sedang mengalami depresi akan mempunyai
pemikiran yang cenderung negatif dalam memandang dan merespon segala sesuatunya,
termasuk menilai diri sendiri. Segala situasi atau stimulus yang netral akan
dipersepsi secara negatif. Misalnya, tidak diundang ke sebuah pesta, maka
berpikir bahwa karena saya “miskin” maka saya tidak pantas diundang. Orang yang
depresi sulit melihat apakah dirinya mampu survive menjalani kehidupan
selanjutnya. Orang yang depresi akan menjadi super sensitif dan cenderung mudah
tersinggung atau “termakan” ucapan orang.
e.
Menghargai diri sendiri
Tidak ada orang lain yang lebih menghargai diri kita
selain diri sendiri. Jikalau kita tidak bisa menghargai diri sendiri, tidak
dapat melihat kebaikan yang ada pada diri sendiri, tidak mampu memandang
hal-hal baik dan positif terhadap diri, bagaimana kita bisa menghargai orang
lain dan melihat hal-hal baik yang ada dalam diri orang lain secara positif?
Jika kita tidak bisa menghargai orang lain, bagaimana orang lain bisa
menghargai diri kita ?
f. Jangan
memusuhi diri sendiri
We are what we think. All that we are arises with
our thoughts. With our thoughts, we make the world (The Buddha). Jadi, semua itu banyak tergantung pada cara kita
memandang segala sesuatu, baik itu persoalan maupun terhadap seseorang. Jadi,
kendalikan pikiran kita jika pikiran itu mulai menyesatkan jiwa dan raga.
g. Berpikir
positif dan rasional
Peperangan terbesar dan paling melelahkan adalah
peperangan yang terjadi dalam diri sendiri. Sikap menyalahkan diri sendiri secara berlebihan
merupakan pertanda bahwa ada permusuhan dan peperangan antara harapan ideal
dengan kenyataan diri sejati (real self). Akibatnya, akan timbul
kelelahan mental dan rasa frustrasi yang dalam serta makin lemah dan negatif
konsep dirinya.
Psikilogi olahraga sangat penting dalam disiplin
pengendalian diri. Karena bannyak hal bertentangan batin antara mengutamakan
kepentingan pribadi atau lebih mengutamakan kepentingan umum, merupakan
tatangan terhadap kuat-lemahnya disiplin individu. Oleh karena itu sebagai
seorang atlet bisa memiliki disiplin dan pengendalian diri baik dalam olahraga
maupun dalam bermasyarakat. Penanaman disiplin dalam buku psikologi olahraga
harus dilandasi pengertian pokok mengenai pengendalian diri dan disiplin, yang
intinnya menanamkan kepatuhan yang didasarkan atas pemahaman dan kesadaran,
serta tanggung jawab.
DAFTAR PUSTAKA
Gerungan, A. 1980. Psychologi Sosial. Jakarta:
P.T. Eresco.
Gunarsa, Singgih, dkk. 1987. Psikologi Olahraga.
Jakarta: BPK-GM.
Pate, Russel, dkk. 1964. Dasar-Dasar Ilmiah
Kepelatihan. Semarang: IKIP Semarang Press.
Sears, David, dkk. 1994. Psikologi Sosial. Jakarta:
Erlangga.
Setyobroto, Sudibyo. 1989. Psikologi Olahraga. Copyright.
Walgito, Bimo. 1981. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar